Langsung ke konten utama

Katanya, 'Tunangan Aja Dulu, Biar Nggak Digrebek Warga'


https://www.sfgate.com/technology/businessinsider/article/A-psychologist-says-you-shouldn-t-avoid-talking-12731127.php


Beberapa saat lalu, keluarga saya diribetkan dengan acara tunangan seorang remaja tanggung yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Nampak ribet mungkin karena acaranya dadakan, kemudian yang diperlukan pun bermacam-macam, dan yang mengadakan hajat banyak maunya. Sungguh menggegerkan.

Dia, si penyelenggara hajat dan pacarnya tiba-tiba ingin tunangan, padahal usut punya usut, mereka berdua belum pernah mempertemukan kedua belah keluarga untuk sekadar dikenalkan. Buat saya sih lucu ya, kenal dengan keluarga inti saja belum kok langsung minta tunangan. Tapi ya sudahlah ya, namanya juga niat baik, diselenggarakan saja.

Iseng-iseng campur kepo, saya bertanya kenapa buru-buru minta tunangan, nggak ada angin nggak ada hujan kok buru-buru sekali. Ternyata, kedua sejoli itu sedang membangun bisnis berdua dan mengharuskan mereka kemana-mana harus berdua. Dan… mereka memutuskan tunangan supaya kalau ketika mereka sedang berdua, tidak kena grebek warga.

Maaf maaf nih, memangnya kalau sudah tunangan, lantas menjadikan mereka sebagai ‘pasangan halal’ begitu? Enak dong ya, tunangan doang tapi berasa suami-istri.  Setahu saya nih ya, kalau biar nggak digrebek warga ya nikah, pakai akad kemudian dicatatkan di kantor urusan agama.

Tapi, tidak hanya mereka saja yang menganggap kalau ‘sudah tunangan ya tenang’. Sewaktu saya masih tinggal di kos, salah seorang teman saya sering membawa pacarnya masuk ke kamarnya. Tiap saya bertanya ke teman kos yang lain kenapa mereka diizinkan untuk masuk ke dalam, alasannya ya karena mereka sudah bertunangan. Ya kalau sudah tunangan itu ya kenapa? Belum SAH juga kok.

Menurut saya, tunangan itu sebatas penanda kalau hubungan yang dijalani sudah serius, on the way pernikahan. Akan tetapi bukan berarti kalau sudah tunangan ya sudah bisa kemana-mana berdua tanpa perlu takut kena grebek warga. Tetap perlu yang namanya jaga batasan, tetap perlu yang namanya sadar bahwa belum jadi muhrimnya, tetap perlu sadar diri kalau sudah tunangan juga bisa tetap putus kapan saja.

Kalau memang mau bebas tanpa ada ketakutan apapun, bisa kemana-mana berduaan, bisa tinggal dalam satu atap yang sama ya jangan cuma tunangan. Menikahlah! Kalau merasa belum mampu menikah ya pacaran saja tapi jangan punya pikiran ingin tunangan supaya semua orang bisa memaklumi kalau kalian berdua-duaan mah bebas. Gmz nggak sih?

Saya juga nggak habis pikir dengan mereka yang kemudian membiarkan sepasang anak manusia yang sebatas masih bertunangan untuk tinggal dalam satu atap. Kalau sebatas bertunangan saja sudah bisa tinggal berdua dan bebas tanpa dicurigai, kemudian timbul pemikiran ‘Aelah buat apa juga nikah, mending tunangan aja yang simple dan low budget. Semua orang juga paham kalau tunangan bentar lagi nikah’

Maaf lagi nih ya, yakin amat kalau udah tunangan kemudian bentar lagi menikah? Seyakin itu kalau hubungan tersebut akan mulus berjalan? Maaf maaf lagi ya, saya cuma ingin memberi tahu, kalau di dalam hubungan asmara, yang namanya jaminan itu nggak ada adanya di pegadaian. Jaminan sudah tunangan, sudah lama pacaran, sudah disetujui keluarga, jaminan punya usaha berdua, semua bisa hilang kapan pun.

So, maksud dari tulisan saya ini hanya mengingatkan kalau orang yang sudah menikah saja tetap harus jaga batasan terhadap pasangannya. Apalagi Mas dan Mbaknya yang baru tunangan…  cinta sih boleh, tetapi otak harus tetap waras.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Freelance Content Writer di Hipwee (Part 2)

Banyak yang nanya, suka dan dukanya kerja di Hipwee… Kalau boleh jujur, sebenernya nggak ada dukanya sih. Karena sejatinya bekerja yang sesuai dengan hobi dan kesukaan kita adalah hal paling menyenangkan. Dikejar target yang dalam satu hari harus menulis dua artikel dengan tenggat waktu yang mepet-mepet, putar otak demi mendapat ide yang sejodoh dengan keinginan editor -- sekarang justu jadi hal-hal yang aku kangenin,  Malah, terlalu banyak kesenangan dan keuntungan yang dampaknya masih bisa aku rasakan sampai sekarang. Sebut saja ketika saat ini aku jadi tahu bahwa saat ingin menulis sebuah konten, yang diperhatikan bukan hanya kualitas tulisannya aja. Ada hal-hal yang sering dianggap remeh oleh penulis, namun nyatanya mempengaruhi minat baca pembaca. Seperti halnya pemilihan gambar dan pembuatan judul. Dan sekarang, tiap akan menulis sesuatu, aku selalu merasa perlu memilih diksi yang asik, gambar yang sesuai dengan tulisan dan judul yang berjodoh dengan keseluruhan i...

Sabar, sebentar lagi...

“Nanti, ya…” “Sabar, sebentar lagi.” Kenyang sekali dengan dua kalimat tadi. Saking seringnya, sampai tidak lagi terhitung berapa kali diucapkan. Walau tidak ingat kapan pertama dikatakan, tapi sadar benar bahwa baru saja, kalimat tadi dikatakan.   Tidak apa-apa. Kita masih kaya akan harapan untuk jumpa. Masih sama-sama berusaha untuk percaya bahwa kata ‘nanti’ dan ‘sebentar lagi’ ini akan digantikan dengan ‘besok aku sampai di Jogja, dek.’ Kita hebat, benar? Tetap saling jaga meski berjauhan, saling menguatkan meski sama-sama sedang rapuh,   saling percaya meski ada banyak sekali ragu yang dipendam diam-diam. Kita hebat sebagai pasangan yang cobaannya adalah jarak dan waktu. Semoga nyala api untuk mau terus berusaha tetap nyala, ya?

Dear Perempuan, Berkeinginan Bekerja Sebelum Menikah Itu Bukan Dosa

“Perempuan itu nggak perlu kerja. Selesai sekolah yaudah nikah aja. Lagipula pada akhirnya juga dinafkahi suami.” Celoteh seperti ini, sudah kerap penulis dengar. Miris, namun ada benarnya juga.  Stigma bahwa perempuan memang nggak perlu susah-susah kerja, toh nanti akan menjadi tanggungan suami memang tidak sepenuhnya salah. Setelah menikah, perempuan memang akan diberi nafkah oleh suami. Namun bukan berarti perempuan yang ingin bekerja sebelum bahkan selepas menikah itu lantas dilarang keras. Perempuan ‘zaman now’ bukan lagi perempuan yang bisa diremehkan. Banyak profesi ringan hingga berat yang sudah diisi oleh perempuan. Mulai dari supir busway , pengemudi ojek online , sampai menteri dan juga presiden. Bisa dibilang, posisi perempuan kini tak selalu ada di bawah ketiak lelaki.  Berbeda dengan zaman penjajahan, dimana perempuan belia berkisar belasan tahun wajib sudah menikah dan tidak boleh bersekolah. Perempuanyang hidup di zaman sekarang dibebaskan be...