![]() |
https://thefreewoman.com/finding-way-life-graduation/unsplash-image-brooke/
|
2018 sudah bukan lagi
zaman siti nurbaya, di mana gadis umur belasan sudah dipersunting dengan lelaki
yang bahkan lebih cocok jadi bapak ketimbang suaminya. 2018 sudah bukan lagi
zamannya R.A. Kartini, di mana perempuan dilarang bersekolah bahkan keluar dari
rumah. 2018 adalah era di mana perempuan bisa ikut menyuarakan haknya, zaman di
mana perempuan berhak memiliki pendidikan dan pekerjaan yang baik, kehidupan
layak dan dan masa depan cerah.
Kenapa tiba-tiba saya jadi
ingin membicarakan perihal pendidikan dan pekerjaan wanita? Padahal sebelumnya
saya pernah menulis tentang tema yang sama saat saya jadi penulis lepas di
sebuah media online.klik di sini! Awalnya saya hanya sekadar ingin berbagi sebuah
kutipan dari artikel yang pernah saya tulis di media daring tersebut di status
whatsapp saya.
![]() |
tulisan yang saya share |
Tak lama setelah saya
posting gambar tersebut, seorang teman menimpali. Dalam chat ia mengatakan
ketidak setujuannya bila perempuan memiliki pendapatan atau pendidikan lebih
tinggi daripada laki-laki. Alasannya adalah alasan klise menurut saya. Kenapa?
Karena alasannya adalah “nanti kalau pendapatan perempuan lebih tinggi daripada
laki-laki, ia akan jadi semena-mena.”
Saat membaca chat
tersebut, saya tertawa terbahak-bahak padahal saat itu saya tengah berada di
tukang sate ayam. Tak usah ditanya, saya kemudian jadi pusat perhatian. Tapi
jujur, hal ini menggelikan buat saya. Mas-mas teman whatsapp saya ini seolah
sudah merasakan betapa pahitnya hidup berumah tangga dengan istri yang
kecerdasan dan kemapanannya melebihi dia. Padahal setahu saya, dia masih
mahasiswa semester awal, yang artinya sama seperti saya, belum menikah.
Tapi yang membuat saya
jengkel adalah caranya memandang bahwa semua perempuan itu sama. Sama-sama
tidak bisa menghargai orang lain dan juga sama-sama tidak tahu diri. Sakit hati
memuncak ketika dia mengatakan bahwa, “ya memang baiknya perempuan itu di bawah
laki-laki.” Untung saja Mas-mas itu tidak ada di hadapan saya, kalau tidak
habis sudah dia saya cakar-cakar.
Saya baru pertama ini mendapati
seseorang yang tidak setuju bahwa perempuan memang layaknya berpendidikan dan
memiliki pendapatan baik. Saya kemudian bertanya-tanya, memang hanya dia saja
atau kah sebagian besar orang berpikiran begitu. Kemudian saya memutuskan untuk
menanyai beberapa teman saya bagaimana pendapat mereka apakah ‘Perempuan
Berpendidikan Tinggi dan Memiliki Gaji Besar. Ancaman atau Berkah?” Dan inilah
jawaban mereka;
“Pada
hakikatnya tugas perempuan itu memang mengurus rumah dan anak. Tapi zaman pun
sudah semakin maju. Kalau aku sih setuju kalau perempuan memiliki gaji yang
lebih tinggi dan juga pendidikan yang lebih baik daripada suaminya karena
dengan memiliki istri yang sama-sama memiliki pendapatan, makan dan kebutuhan
rumah tangga bisa lebih mudah diatasi.” Kata seorang teman laki-laki berinisial
SP. Ia pun menambahkan bahwa jika ada laki-laki yang tidak setuju dengan
perempuan berpendidikan tinggi dan bergaji besar itu karena merasa minder. Dan
cara berpikir yang seperti itu memang baiknya dibuang jauh-jauh.
Dan jawaban
senada juga diutarakan oleh seorang teman baik, mahasiswi yang kini tengah
menempuh pendidikan S1 di sebuah universitas swasta di Fakultas Pendidikan
Agama Islam, sebut saja ia RR, “Pendidikan tinggi perempuan itu untuk anak-anaknya
kok, karena awal pendidikan seorang anak nantinya berasal rumah. Kalau bukan ibunya siapa lagi?
Tugas utama dalam mencari nafkah memang suami, tapi selagi istri produktif dan
punya kemampuan kenapa tidak ? Nanti uangnya juga dipakai bersama-sama.”
Tak ketinggalan
juga teman saya yang berinisial SW. Ia menurutkan bahwa di zaman yang sedang
marak-maraknya PELAKOR ini, wanita memang diharuskan bisa mandiri. Jika nanti
*amit-amit* pernikahan tidak berjalan seperti apa yang diinginkan, sebagai
perempuan kita masih bisa berdiri di atas kaki sendiri. Dan saat saya bertanya
tentang bagaimana pendapatnya bila sekarang masih ada seseorang yang tidak
setuju bila perempuan memiliki pendidikan dan karir yang baik, SW menjawab “Bukankah
di agama pun kita di wajibkan menuntut ilmu bahkan sampai ke negeri cina? Kalau
pendidikan saja terdiskriminasi oleh gender bagaimana dunia kerja akan
imbangkan oleh pemikiran-pemikiran halus, lembut, dan mumpuni dari perempuan?”
Namun
jawaban sedikit berbeda dari teman-teman saya yang lain, seorang teman
berinisial FZ setuju bahwa banyak kasus dalam pernikahan yang kemudian berujung
pada perceraian diakibatkan dari perempuan yang sibuk sendiri dengan segala
pekerjaannya hingga abai pada kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu. “Bisa
saja kan ketika suami dan istri bertengkar, istri yang pendapatannya lebih
besar akan mengungkit pendapatannya tersebut.” Tambahnya.
Dengan saya bertanya ke
beberapa teman saya, dua lelaki pun dua perempuan, saya tidak ingin mencari ‘dukungan’
atas pendapat saya. Namun yang saya cari adalah jawaban dari mereka, masihkah
orang-orang selama ini berpikir bahwa pendidikan dan pekerjaan layak itu hanya
cocok disanding laki-laki dan perempuan ya minimal sebatas lulus SMA saja.
Semua jawaban teman-teman
saya tidak ada yang salah. Karena yang namanya pendapat, adalah hak dari
masing-masing, baik pro mau pun kontra. Kita tidak memiliki hak untuk memaksa
seseorang supaya memiliki pendapat atau sepemikiran dengan kita. Sama halnya
dengan pendapat Mas-mas yang membalas chat whatsapp saya kemudian mengajak saya
debat malam itu juga, apa yang dia utarakan adalah hal yang benar setidaknya
untuk dirinya sendiri.
Maka dari itu, saya pun
berhak berpendapat bahwa pendidikan tinggi kemudian mendapatkan pekerjaan yang
disukai juga adalah hak dari setiap orang, termasuk perempuan. Jika memang kamu
adalah laki-laki yang tidak setuju bila perempuan memiliki masa depan yang
baik, maka carilah perempuan yang memang sependapat dengan anda alias perempuan
yang pasrah-pasrah saja dengan kehidupannya. Jangan kemudian memaksakan
kehendak agar semua perempuan mau berada di level bawah.
Ketika membicarakan
perempuan yang nantinya akan membangkang atau yang kemudian jadi tidak mau
patuh kepada imamnya hanya karena pendapatannya lebih besar, mungkin memang ada
perempuan yang seperti itu. Namun itu TIDAK SEMUA! Jangan karena di televisi
menayangkan hal yang seperti itu, lalu kamu men-judge bahwa semua perempuan itu
satu tipe. Perempuan yang mau diajak susah senang bersama, yang mau membantu
lelakinya dengan ikhlas itu ada dan BUKAN mitos. Jika untuk beberapa orang
penampilan fisik adalah hal yang utama dalam mencari pasangan, maka cari saja
yang cantik namun kemudian susah nyambung saat diajak bicara.
Bila memang perempuan yang
berpendidikan dan memiliki gaji besar bisa jadi pembangkang, lalu bagaimana
dengan laki-laki yang merasa dirinya lebih tinggi kedudukannya dari perempuan
lantas semena-mena? Lelaki macam ini ada! Merasa dirinya kaya, lebih berkuasa
kemudian menyakiti perempuan. Jadi, coba dipikir ulang saat mengatakan bahwa
perempuan itu lebih susah diatur daripada laki-laki.
Buat saya, mencari
pendamping itu bukan hanya sebagai teman tidur sekalian bisa urus dapur. Tapi mencari
teman hidup ialah ia yang juga bisa dijadikan teman bicara, teman berkembang,
teman bertukar pikiran, teman debat secara positive dan mendidik anak di
kemudian hari. Dan semua itu tentu bisa dilakukan dengan perempuan yang
memiliki pemikiran dan wawasan luas.
Semoga dengan tulisan saya
ini bisa sedikit memberikan pandangan terhadap teman-teman sesama perempuan
yang selama ini mungkin takut untuk meneruskan pendidikannya atau ingin bekerja
sebelum menikah. Girls, you worth to deserve it.
Komentar
Posting Komentar